Caster Semenya Akhiri Perjuangan Hukum Soal Aturan Kelayakan Jenis Kelamin
Caster Semenya, yang memiliki kromosom XY namun juga karakteristik fisik perempuan dan tingkat testosteron yang tinggi, selalu mengidentifikasi diri sebagai perempuan. (Foto: AP)
Juara Olimpiade dua kali, Caster Semenya, memutuskan untuk mengakhiri perjuangan hukumnya yang berkepanjangan melawan aturan kelayakan jenis kelamin dalam atletik, seperti yang dikonfirmasi oleh pengacaranya pada Kamis (2/10).
Keputusan ini mengakhiri tujuh tahun perselisihan di pengadilan yang menjadikannya tokoh sentral dalam salah satu perdebatan paling kontroversial dalam olahraga modern.
Caster Semenya, 34 tahun, tidak dapat berkompetisi di nomor 800 meter favoritnya di kompetisi internasional besar sejak 2019, ketika ia menolak mematuhi peraturan yang mewajibkan atlet dengan perbedaan perkembangan jenis kelamin (DSD) untuk menurunkan tingkat testosteron alami yang tinggi melalui obat-obatan.
Perjuangan hukumnya melibatkan beberapa pengadilan, termasuk Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS), Pengadilan Federal Swiss, dan terbaru Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR).
Meskipun Semenya kalah di CAS dan di Swiss, ECHR memutuskan pada Juli lalu bahwa dia tidak mendapatkan persidangan yang adil di pengadilan Swiss, keputusan yang sempat menghidupkan kembali harapan dia bisa kembali berkompetisi.
Namun, pengacaranya, Patrick Bracher, mengatakan kepada The Associated Press bahwa kasus ini tidak akan dibawa kembali ke Mahkamah Agung Swiss.
“Tantangan hukum Caster telah mencapai pengadilan tertinggi dengan hasil yang sangat sukses dan tidak akan dilanjutkan dalam keadaan ini,” katanya.
Kisah pelari asal Afrika Selatan ini menyoroti kompleksitas kondisi DSD (Disorders of Sex Development), yang memengaruhi atlet yang lahir dengan karakteristik kromosom atau hormonal yang tidak biasa.
Caster Semenya, yang memiliki kromosom XY namun juga karakteristik fisik perempuan dan tingkat testosteron yang tinggi, selalu mengidentifikasi diri sebagai perempuan.
Namun, kasusnya sering dikaitkan dengan debat tentang partisipasi transgender dalam olahraga perempuan, suatu perbedaan yang ditekankan oleh pendukungnya sebagai hal yang menyesatkan.
World Athletics berargumen bahwa kadar testosteron alami yang tinggi memberikan keunggulan kinerja yang tidak adil bagi atlet seperti Semenya, mengutip hubungannya dengan massa otot dan efisiensi kardiovaskular.
Kritikus membantah bahwa ilmu pengetahuan masih belum pasti dan bahwa memaksa wanita untuk mengubah biologi alami mereka adalah diskriminatif.
Sejak pengenalan batas testosteron pada 2011, aturan tersebut semakin ketat.
Per September 2025, wanita yang berkompetisi di level internasional harus menjalani tes genetik sekali seumur hidup untuk memastikan tidak adanya kromosom Y, secara efektif melarang atlet DSD (Disorders of Sex Development) dari kategori wanita.
Meskipun Caster Semenya telah beralih ke bidang kepelatihan, kasusnya tetap menjadi tonggak penting dalam olahraga global.
Kemenangannya di Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) baru-baru ini mungkin masih menjadi landasan hukum untuk tantangan hukum di masa depan terhadap regulasi terbaru oleh atlet lain.
Di luar atletik, badan pengatur olahraga seperti renang dan tinju telah mengadopsi pembatasan serupa, memicu kontroversi baru.
Meskipun karier kompetitifnya terhenti, perjuangan Semenya telah mengubah perdebatan tentang kelayakan gender, keadilan, dan hak asasi manusia dalam olahraga — warisan yang kemungkinan akan bertahan lebih lama dari masa baktinya di lintasan.
Artikel Tag: caster semenya