Kanal

Jangan Pernah Ragukan Terence Crawford, Bahkan Saat Ia Pensiun dari Tinju

Penulis: Hanif Rusli
18 Des 2025, 19:25 WIB

Pada usia 38 tahun, Terence Crawford justru melawan semua logika itu ketika naik tiga kelas untuk menghadapi Saul “Canelo” Alvarez. (Foto: Fight TV)

Terence Crawford telah pensiun dari tinju profesional, meninggalkan status tak terkalahkan, warisan sejarah, dan—secara teori—puluhan bahkan ratusan juta dolar yang masih bisa ia kejar.

Seorang petinju hebat sepanjang masa, yang justru baru memasuki puncak nilai komersialnya, memilih pergi di saat berada di puncak.

Naluri banyak orang mungkin mempertanyakan keputusan itu.

Jangan. Jangan pernah meragukan Terence Crawford.

Keraguan adalah bahan bakar yang mendorongnya selama ini. Keraguanlah yang membawanya menjadi juara sejati di kelas 140, 147, dan 168 pound.

Keraguan pula yang mengantarnya ke status petinju terbaik di planet ini—tanpa mengurangi respek kepada Oleksandr Usyk.

Dan kini, melawan hampir semua pakem dunia tinju, keraguan justru memungkinkan Crawford pensiun dengan caranya sendiri: tak terkalahkan, di puncak, tepat setelah kemenangan paling ikonik dalam kariernya.

Satu-satunya petinju lain yang pernah saya lihat melakukan hal serupa—dan benar-benar bertahan dalam masa pensiun—adalah Andre Ward. Ward mundur pada 2017 setelah dua kemenangan beruntun atas Sergey Kovalev, monster kelas berat ringan kala itu.

Ward memahami apa yang dicapai Terence Crawford. Ia menyebut bahwa Crawford telah mengalahkan lawan terbesar yang dihadapi setiap petinju: olahraga itu sendiri.

Ia menaklukkan keraguan, cedera, pujian, kritik, dan risiko satu pukulan yang bisa mengubah hidup dan warisan. Itu wilayah langka. Crawford telah “mengalahkan tinju.”

Tinju penuh jebakan. Ego yang membuat petinju hebat sering kali pula yang memaksa mereka terus kembali saat kemampuan sudah menurun.

Sistemnya juga tidak adil: lebih besar melawan lebih kecil, lebih muda melawan lebih tua, dan selalu menguntungkan “A-side.”

Namun pada usia 38 tahun, Terence Crawford justru melawan semua logika itu ketika naik tiga kelas untuk menghadapi Saul “Canelo” Alvarez—juara sejati kelas menengah super sekaligus mesin uang terbesar tinju.

Hasilnya? Crawford menang dengan cara yang bahkan lebih dominan daripada yang tercermin di kartu juri.

Bagi banyak petinju hebat, melawan Canelo adalah tiket emas. Bagi Crawford, Canelo adalah “paus putihnya”—jawaban eksistensial atas setiap peragu yang pernah ia temui.

Ia menolak laga-laga yang “seharusnya ia menangkan” demi satu pertarungan yang bermakna. Ia menginginkan risiko, karena hanya risiko yang bisa membungkam keraguan.

Keraguan selalu mengikutinya: saat ia diragukan bisa mengalahkan Errol Spence Jr., saat promotor meragukan daya tariknya, bahkan sejak ia berasal dari Omaha, Nebraska—kota yang tak ada di peta tinju sebelum ia meletakkannya di sana.

Dan tentu saja, ada kisah legendaris tentang ibunya, Miss Debra, yang menjelang laga perebutan gelar pertamanya justru berkata, “Kamu bukan apa-apa.”

Ia tahu itu akan menancap di kepala putranya. Dan benar—Crawford pergi jauh ke Glasgow dan pulang sebagai juara.

Mungkin di situlah kuncinya. Terence Crawford tak pernah berhenti membuktikan orang salah.

Kini, saat ia berkata akan tetap pensiun, sebaiknya kita percaya. Dalam urusan meragukan Terence Crawford, rekor dunia sudah jelas: dia tak terkalahkan.

Artikel Tag: Terence Crawford

Berita Terkait

Berita Terpopuler Minggu Ini

Berita Terbaru